Bagaimana proses pembagian lingko berbentuk jaring laba-laba di Manggarai? Simak catatan menarik ini.
Proses membagi lahan pertanian pada masyarakat Manggarai terbilang unik. Dengan bentuknya yang kita kenal saat ini menyerupai jaring laba-laba—bundar dan dengan pusat yang disebut lodok hingga ke batas terluar yang disebut cicing. Bentuk yang unik ini sudah terjaga dari generasi ke generasi.
Pembagian lingko berbentuk jaring laba-laba itu, tentu bukan soal membagi lahan semata. Ada proses (yang ternyata cukup rumit) yang harus dilalui bagian demi bagian yang melibatkan arwah para leluhur. Mesti juga melewati beberapa ritus utama.
Beberapa ritus inilah yang akan hadir dalam tulisan ini agar tradisi pembagian lahan/lingko dalam bentuk jaring laba-laba—yang saat ini telah menjadi tempat destinasi wisata, seperti Lingko Meler di Kecamatan Ruteng—dikenal luas.
Tim Humas dan Protokol Kabupaten berkesempatan mendokumentasi ritus ini, saat menghadiri prosesi pembagian lahan dengan sistem lodok yang dilakukan oleh masyarakat adat Gendang Nampo, Desa Golo Woi Kecamatan Cibal Barat beberapa waktu lalu (4/7/2019).
Acara ini ditandai dengan ritus Tente Teno, di mana sebatang kayu menyerupai lesung diletakkan pada pusat lodok sebagai episentrum pembagian lahan menuju cicing.
Ritual Penghormatan Leluhur
Saat kami menyambangi tempat tersebut, masyarakat adat setempat mengawali seluruh rangkaian acara dengan sebuah ritus penghormatan kepada arwah para leluhur yang dilaksanakan di pekuburan umum Gendang Nampo. Ritus ini bertujuan untuk menghadirkan kembali roh nenek moyang pada saat pembagian lahan.
Selanjutnya roh para leluhur tersebut yang diyakini telah ada bersama dengan masyarakat, diundang menuju rumah gendang dalam ritus pemberian sesajian atau yang disebut Teing Hang. Sebelum acara ini berlangsung, Tu’a Teno Benediktus Apon melakukan ritus penerimaan adat atau Kapu dengan menggunakan sebutir telur kampung yang dilakukan di atas Compang atau mesbah sesajian. Bahasa setempat menyebutnya dengan Lumpung.
Acara kemudian berlanjut di dalam Mbaru Gendang, di mana Tu’a Teno menghadirkan seluruh masyarakat adat atau Golo dalam acara pemberian sesajian. Acara ini juga digunakan sebagai rapat awal atau yang disebut dengan Reke Lodok. Rapat ini menentukan Rembo, yang ikut dalam pembagian lingko. Rembo adalah semacam hak dari setiap panga untuk mengambil bagian dalam Lodok Lingko.
Pada rapat yang sama juga disepakati siapa yang mengambil bagian dalam Sor Moso atau acara pembagian lingko. Biasanya setiap Panga sudah mengetahui siapa dari keluarganya yang akan membutuhkan lahan.
Nah, bagi orang lain di luar wa’u (klan) atau yang disebut ata long (pendatang) tapi tinggal di golo dan ingin mengambil bagian dalam sor moso, maka dia akan mendekati Tu’a Teno dengan membawa seekor ayam dan sebotol tuak atau yang disebut dengan istilah Kapu Manuk Lele Tuak.
Tente Teno Menandai Dimulainya Pembagian Lingko
Sebelum menuju lokasi pembagian Lingko, masyarakat gendang Nampo melakukan sebuah ritus adat Wu’at Wai. Ritus ini merupakan cara masyarakat setempat untuk meminta kepada roh leluhur untuk merestui perjalanan mereka menuju lokasi pembagian lingko. Ayam berwarna putih sebagai hewan korban. Ujud doa disampaikan oleh petutur yang juga bertindak sebagai Tu’a Teno.
Usai ritus adat tersebut, segenap anggota keluarga dalam satu golo yang akan menuju lokasi, lebih dahulu melakukan ritus mengelilingi lumpung atau mesbah sesajian yang berada di Mbaru Gendang. Ritus penghormatan compang ini disebut dengan Lilik Compang — dengan berputar ke arah kiri. Selepas Lilik Compang kemudian berlanjut menuju lokasi dengan diiringi bunyi pukulan gong. Jalur menuju lokasi adalah jalan yang selalu dilewati oleh para leluhur jaman dulu atau yang disebut dengan Salang Ceki.
Sesampai di lokasi, hal pertama yang dibuat adalah menentukan lokasi mesbah sesajian atau lumpung. Ritus pemberian sesajian pun dimulai dengan sebutir telur ayam kampung yang ditempatkan di atas kayu yang ditancapkan ke tanah.
Selanjutnya, Tu’a Teno ke beberapa lokasi lingko yang akan dibagi. Pembagian lingko pun dimulai dengan acara Tente Teno, yaitu menancapkan kayu yang bernama Haju Teno ke lubang yang telah digali sebelumnya dan persis terletak di pusat lingko. Dari Haju Teno itulah nanti akan ditarik garis jari-jari lingkaran yang kemudian menjadi batas antar kebun (langang).
Namun, sebelum kayu ditancapkan, Tu’a Teno akan memegang sebutir telur ayam mentah dan mengucapkan sebuah doa harapan kepada Tuhan dan nenek moyang agar memberikan rejeki yang melimpah kepada masyarakat yang menggunakan lahan tersebut nantinya.
Telur ayam ini akan disimpan di dalam lubang di mana Haju Teno ditancapkan. Sesudah lubang ditutup dengan tanah, di sekeliling teno akan ditancapkan kayu-kayu kecil yang disebut Lance Koe. Pada lance inilah akan diikat tali (wase). Banyaknya tali tergantung jumlah panga dalam satu golo. Di luar lance itu akan dibuat langang.
Kesepakatan pembagiannya dilakukan pada saat Tente Teno. Ukuran yang lebih besar diberikan kepada Tu’a Teno dan keluarganya dengan diukur menggunakan empat jari tangan atau moso atau yang disebut dengan Lide Rembo. Sedangkan bagi keluarga lainnya menggunakan tiga jari, dua jari maupun satu jari atau yang disebut dengan lide lance.
Sebagaimana diketahui bahwa Lodok adalah pusat lingko, areal kebun atau sawah yang berbentuk bundaran. Lingko ini adalah semua tanah yang dimiliki satu wa’u (kumpulan beberapa klan) di dalam satu golo, atau yang disebut dengan tempat pemukiman warga kampung. Karena itu, lingko ini bukanlah milik pribadi, tetapi milik wa’u yang tinggal di satu golo saja.
Usai membagi, para pemilik lahan yang telah dibagikan itu langsung mengerjakan lahan tersebut untuk ditanami dengan berbagai macam tanaman pertanian.
Menurut rencana, pada musim penen nanti masyarakat gendang Nampo akan kembali berkumpul untuk melaksanakan syukuran tahunan yang disebut Penti Weki Peso Beo. Seekor kerbau jantan akan menjadi hewan kurban dalam acara syukuran tahunan tersebut.
Tim Humaspro Manggarai